Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TERAPI BIOLOGIS PADA SCHIZOPHRENIA

TERAPI BIOLOGIS PADA SCHIZOPHRENIA 



1. Penggunaan Obat Antipsikosis

Obat-obatan antipsikosis yang dapat meredakan gejala-gejala schizophrenia adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin). 

Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). 

Obat ini disebut obet penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). 

Obat ini tampaknya mengakibatkan sikap acuh pada stimulus luar. Obat ini cukup tepat bagi penderita schizophrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan).

Bukti menunjukkan bahwa obat antipsikotik ini bekerja pada bagian batang otak, yaitu sistem retikulernya, yang selalu mengendalikan masukan berita dari alat indera pada cortex cerebral. 

Obat-obatan ini tampaknyamengurangi masukan sensorik pada sistem retikuler, sehingga informasi tidak mencapai cortex cerebral.

Obat antipsikotik telah terbukti efektif untuk meredakan gejala schizophrenia, memperpendek jangka waktu pasien di rumah sakit, dan mencegah kambuhnya penyakit. 

Namun, obat-obatan tersebut bukan untuk penyembuhan menyeluruh. Kebanyakan pasien harus melanjutkannya dengan perbaikan dosis pengobatan agar dapat berfungsi di luar rumah sakit.

Di samping itu, efek penggunaan obat-obatan antipsikotik tersebut memiliki dampak sampingan yang kurang menyenangkan, yaitu mulut kering, pendangan mengabur, sulit berkonsentrasi, sehingga banyak orang menghentikan pengobatan mereka. 

Selain itu juga terdapat dampak sampingan yang lebih serius dalam beberapa hal, misalnya tekanan darah rendah dan gangguan otot yang menyebabkann gerakan mulut dan dagu yang tidak disengaja.

Selain itu, dalam 2-3 tahun terakhir ini, obat-obat psikotropik anti schizophrenic bermunculan dan mulai digunakan. 

Obat-obat ini seperti clozapine, risperidone, olanzepine, iloperidol, diyakini mampu memberikan kualitas kesembuhan yang lebih baik, terutama bagi yang sudah resistendengan obat-obat lama.

Obat-obat generasi kedua ini bisa menetralisir gejala-gejala akut schizophrenia seperti tingkah laku kacau, gaduh gelisah, waham, halusinasi pendengaran, inkoherensi, maupun menghilangkan gejala-gejala negatif (kronik) seperti autistik (pikiran penuh fantasi dan tak terarah0, perasaan tumpul, dan gangguan dorongan kehendak. 

Namun, obat-obat anti schizophrenia ini memiliki harga yang cukup tinggi. Sementara, penderita schizophrenia di Indonesia kebanyakan berasal dari golongan sosial ekonomi rendah dan biasanya menggunakan obat-obatan klasik (generik) (Wicaksana, 2000).

2. Terapi Elektrokonvulsif

Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai terapi elektroshock. 

ECT telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. 

Di masa lalu ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk schizophrenia. 

Namun terapi ini tidak membuahkan hasil yang bermanfaat. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien. 

Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. 

Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik.

Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. 

Pasien diberi obat bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot. 

Aliran listrik yang sangat lemahdialirkan ke otak melalui kedua pelipisatau pada pelipis yang mengandung belahan otak yang tidak dominan. 

Hanya aliran ringan yang dibutuhkan untuk menghasilkan serangan otak yang diberikan, karena serangan itu sendiri yang bersifat terapis, bukan aliran listriknya. 

Penenang otot mencegah terjadinya kekejangan otot tubuh dan kemungkinan luka. 

Pasien bangun beberapa menit dan tidak ingat apa-apa tentang pengobatan yang dilakukan. 

Kerancuan pikiran dan hilang ingatan tidak terjadi, terutama bila aliran listrik hanya diberikan kepada belahan otak yang tidak dominan (nondominan hemisphere). 

Empat sampai enam kali pengobatan semacam ini biasanya dilakukan dalam jangka waktu 2 minggu.

Akan tetapi, ECT ini tidak cukup berhasil untuk penyembuhan schizophrenia, namun lebih efektif untuk penyembuhan penderita depresi tertentu.

3. Pembedahan bagian otak

Pada tahun 1935, Moniz (Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu preoses pembedahan pada lobus frontalis penderita schizophrenia. 

Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. 

Akan tetapi, pada tahin 1950 cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.