Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PENYEBAB GANGGUAN SCHIZOPHRENIA

PENYEBAB GANGGUAN SCHIZOPHRENIA


Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab Schizophrenia, yaitu pendekatan biologis (meliputi faktor genetik dan faktor biokimia), pendekatan psikodinamik, pendekatan teori belajar.

1. Faktor Genetik

Seperti halnya psikosis lain, schizophrenia nampaknya cenderung berkembang lewat keluarga. 

Penelitian terhadap munculnya schizophrenia dalam keluarga biasanya diadakan dengan mengamati penderita schizophrenia yang ada di rumah sakit jiwa dan kemudian meneliti tentang perkembangan kesehatannya serta mencari keterangan dari berbagai pihak untuk menentukan bagaimana schizophrenia dan psikosis lainnya muncul di antara keluarga penderita. Dari penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa resiko timbulnya psikosis, termasuk schizophrenia, sekitar empat kali lebih besar pada hubungan keluarga tingkat pertama (saudara kandung, orang tua, anak kandung) dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya.

Semakin dekat hubungan genetis antara penderita schizophrenia dan anggota keluarganya, semakin besar kemungkinannya untuk terkena schizophrenia. 

Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan terkena schizophrenia dapat ditularkan secara genetis. 

Keluarga penderita schizophrenia tidak hanya terpengaruh secara genetis akan tetapi juga melalui pengalaman sehari-hari. 

Orang tua yang menderita schizophrenia dapat sangat mengganggu perkembangan anaknya. 

Hal ini menimbulkan persoalan tentang mana yang lebih berpengaruh : 

genetis atau lingkungan.Untuk membedakan hal tersebut, para ahli mengusahakan suatu penelitian terhadap anak kembar. 

Kembar identik (monozygotic) adalah sama/identik secara genetis, karena itu perbedaan antara anak kembar identik kiranya dapat dihubungkan dengan perbedaan dalam lingkungan mereka. 

Jika mereka dibesarkan bersama, maka kembar identik sama-sama mengalami, baik lingkungan yang sama maupun genetis yang sama.

Di pihak lain, kembar yang tidak identik meskipun lahir pada saat yang hampir bersamaan tetapi secara genetis mereka sama halnya dengan dua orang saudara kandung. 

Jika kembar tidak identik dibesarkan bersama, mereka akan sama mengalami lingkungan yang sama tetapi latar belakang genetisnya hanya identik sebesar 50%. 

Dalam penelitian terhadap anak kembar secara umum, tingkat kemungkinan terkena schizophrenia di antara anak kembar identik adalah sekitar dua atau empat kali lebih tinggi daripada antara anak kembar yang tidak identik. 

Hal ini menunjukkan kuatnya pengaruh faktor genetis. 

Akan tetapi, dalam suatu penelitian terhadap kembar identik lainnya ternyata menunjukkan bahwa tidak satupunh dari anak yang kembarannya terkena schizophrenia yang juga menderita schizophrenia. 

Dengan demikian, usaha untuk membedakan  pengaruh genetis dan pengaruh lingkungan masih kabur.

Hasil penelitian terhadap anak kembar belum dapat membedakan pengaruh genetis dan pengaruh lingkungan karena anak kembar biasanya dibesarkan bersama. 

Oleh karena itu, apabila anak yang orang tuanya menderita schizophrenia juga menderita schizophrenia maka ada tiga kemungkinan jawaban : 

ibu atau ayah yang menderita schizophrenia mungkin menularkannya secara genetis, atau anak hidup dalam lingkungan tertentu yang diciptakan oleh orang tua, atau anak itu menderita schizophrenia akibat dari faktor genetik dan lingkungan yang menekan.

Untuk membedakan akibat gen dan akibat lingkungan tersebut, diusahakan bebagai penelitian terhadap sekelompok anak yang lahir dari ibu yang menderita schizophrenia tetapi dipisahkan dari ibunya setelah dilahirkan sehingga tidak ada kontak dengan ibunya. 

Anak-anak tersebut kemudian diadopsi oleh keluarga lain. Kelompok lainnya terdiri dari anak-anak yang lahir dari ibu yang normal dan juga diadopsi oleh keluarga lain. 

Dari kelompok anak-anak yang lahir dari ibu yang terkena schizophreni, ternyata 5 orang menderita schizophrenia dan beberapa lainnya menderita psikosis lainnya, sedangkan kelompok anak-anak yang lahir dari ibu yang normal, tidak seorangpun yang terkena schizophrenia. 

Hal ini mendukung pendapat bahwa schizophrenia lebih besar kemungkinannya ditularkan secara genetis. 

Hasil ini juga didukung oleh beberapa penelitian lain, yaitu bahwa anak-anak dari orang tua schizophrenia mempunyai kemungkinan terkena schizophrenia dua kali lipat dibandingkan dengan anak-anak dari orang tua yang normal, entah mereka dibesarkan oleh orang tua angkat yang menderita schizophrenia maupun tidak. 

Singkatnya hubungan biologis atau genetis dengan penderita schizophrenia nampaknya merupakan faktor yang paling menyolok untuk menimbulkan schizophrenia.

Beberapa penelitian tersebut menunjukkan pengaruh faktor genetis dalam menularkan schizophrenia, namun tetap menjadi pertanyaan : 

bagaimana penularan genetis terjadi. Beberapa peneliti mencoba hal itu dengan berbagai model, antara lain :

a. Distinct Heterogenity Model.

Model  ini  menyatakan bahwa schizophrenia terdiri dari  sejumlah psikosis, beberapa diantaranya disebabkan oleh kerusakan gen yang dapat diikuti oleh gen-gen tertentu dan yang hanya disebabkan oleh faktor lingkungan. Schizophrenia catatonic, misalnya, mungkin merupakan penyakit yang muncul secara genetis yang akhirnya diikuti ketidaknormalan gen pada kromosom tertntu.

b. Monogenic Model.

Model ini menyatakan bahwa semua bentuk schizophrenia dapat disebabkan oleh suatu gen yang cacat. Gen yang cacat ini akan menyebabkan schizophrenia pada orang yang    menerima gen itu dari kedua orang tuanya (monozygote), namun kemungkinannya kecil bila hanya dari satu orang tua (heterozygote).

c. Multifactorial-Polygenic Model.

Model ini menekankan pengaruh nilai ambang. Menurut model ini, schizophrenia disebabkan oleh pengaruh berbagai gen, trauma biologis prenatal dan postnatal dan tekanan psikososial yang saling berinteraksi. 

Aspek schizophrenia muncul  bila faktor-faktor itu berinteraksi melebihi batas ambang tertentu.

Model-model lainnya mengkombinasikan ciri-ciri dari ketiga model tersebut. Schizophrenia, misalnya, muncul sebagai akibat dari interaksi gen tunggal dan tekanan lingkungan. Model Multifactorial-Polygenic nampaknya lebih banyak diterima.

2. Faktor BioKimia
Kraeplin (Sue, et al., 1986) telah mengidentifikasikan schizophrenia sebagai akibat dari adanya ketidakseimbangan kimiawi karena tidak normalnya kelenjar kelamin. 

Sementara Carl Jung (Davison, et al., 1994) menyebutkan adanya unsur kimia yang tidak diketahui, yang disebutnya "toxin x". 

Adanya indikasi pengaruh faktor genetis setidaknya menunjukkan adanya pengaruh faktor biokimia karena faktor genetis terjadi melalui proses biologis dan kimiawi tubuh. 

Para peneliti lain menemukan adanya substansi kimia yang tidak normal yang disebut taraxein dalam serum darah (Sue, et al., 1986).

Riset terakhir difokuskan pada dopamine, suatu neurotransmitter yang aktif di wilayah otak yang terlihat dalam regulasi emosi atau sistem limbik (Atkinson, et al.,1992). 

Hipotesis dopamine menyatakan bahwa schizophrenia disebabkan oleh terlalu banyaknya penerimaan dopamine dalam otak. 

Kelebihan ini mungkin karena produksi neurotransmitter atau gangguan regulasi mekanisme pengambilan kembali yang dengannya dopamine kembali dan disimpan oleh vestikel neuron parasimpatik. Kemungkinan lain adalah adanya oversensitif reseptor dopamine atau terlalu banyaknya respon dopamine (sue, et al., 1986; Atkinson, et al., 1992; Rathus, 1991).

Penelitian terhadap pengaruh dopamine dilakukan dengan menggunakan 3 macam obat bius, yaitu phenothiazine, L-Dopa, dan amphetamine. Phenothiazine merupakan obat anti psikosis yang dapat mengurangi tingkat kekacauan pikiran, halusinasi, dan memperbaiki suasanan hati penderita schizophrenia. 

Terdapat bukti kuat bahwa phenophiazine mengurangi aktifitas dopamine dalam otak dengan menghambat penerimaan dalam saraf parasimpatik.

L-Dopa biasa digunakan untuk pengobatan gejala-gejala penyakit parkinson. Tubuh akan mengubah L-Dopa ini menjadi dopamine dan kadang-kadang menyebabkan gejala-gejala seperti  schizophrenia (Sue, et  al. 1986). Sementara amphetamine merupakan obat perangsang yang meningkatkan kemampuan dopamine dalam otak. Pemberian  amphetamine  dalam  dosis  yang  berlebihan  ternyata  menunjukkan gejala-gejala seperti            schizophrenia. Jika penderita schizophrenia diberi amphetamine, meski dalam dosis rendah, ternyata gejala-gejala schizophrenianya semakin memburuk.

Dengan demikian, obat yang dapat menghambat penerimaan dopamine (seperti phenothiazine) dapat mengurangi gejala-gejala schizophrenia, sementara obat lain yang meningkatkan  kemampuan  dopamine  (seperti  amphetamine dan  L-Dopa)  dapat menyebabkan atau memperburuk gejala-gejala schizophrenia. 

Hal ini memperlihatkan bahwa kelebihan dopamine dapat menyebabkan gejala-gejala schizophrenia. 

Akan tetapi penemuan ini belum seluruhnya tepat. Pemberian phenothiazine terhadap penderita schizophrenia memperlihatkan bahwa seperempat dari mereka memberi respon yang sangat kecil atau tidak sama sekali, bahkan seperempatnya memberikan respon negatif. Sementara, sepertiga penderita yang diberi amphetamine tidak mengalami gejala yang makin memburuk. Hal ini memperlihatkan bahwa seharusnya ada penyebab lain selain dari kelebihan dopamine (Sue, et al., 1986).

Perlu disadari bahwa schizophrenia merupakan sekelompok psikosis dengan efek yang bermacam-macam. Teori dopamine perlu dicermati secara hati-hati karena mungkin terlalu sederhana dalam mencari penjelasan dengan memusatkan persoalan hanya pada aktifitas dopamine semata tanpa memperhitungkan interaksi fungsi otak dengan  sistem  biokimia  secara  menyeluruh.  

Penyumbatan dopamine mungkin mempengaruhi gejala-gejala schizophrenia, tetapi tidak menjadi penyebab munculnya penyakit tersebut. 

Perubahan aktifitas dopamine mungkin terjadi setelah munculnya psikosis dan bukan sebelumnya (Sue, et al., 1986 dan Davison, et al., 1994).

3. Otak

Sekitar 20-35% penderita schizophrenia mengalami beberapa bentuk kerusakan otak (Sue, et al., 1986). 

Penelitian dengan CAT (Computer Axial Tomography) dan MRI (Magnetic Resonance Imagins) memperlihatkan bahwa sebagian penderita schizophrenia memiliki ventrikel serebral (yaitu ruangan yang berisi cairan serebrospinal) yang jauh lebih besar dibanding dengan orang normal. Itu berarti jika ventriker lebih besar dari normal, jaringan otak pasti lebih kecil dari normal. 

Pembesaran ventrikel berarti terdapat proses memburuknya atau berhentinya pertumbuhan jaringan otak. 

Bebebrapa penelitian memperlihatkan bahwa lobus frontalis, lobus temporalis, dan hipokampus yang lebih kecil pada penderita schizophrenia (Atkinson, et al., 1992). Penelitian dengan PET (Positron Emission Topography, yaitu pengamatan terhadap metabolisme glukosa pada saat seseorang sedang mengerjakan tes psikologi, pada penderita schizophrenia memperlihatkan tingkat metabolisme yang rendah pada lobus frontalis.

Kelainan syaraf ini dapat pula dijelaskan sebagai akibat dari infeksi yang disebabkan oleh virus yang masuk otak. 

Infeksi ini dapat terjadi selama perkembangan janin.  

Akan tetapi, jika kerusakan otak terjadi  pada masa awal perkembangan seseorang, pertanyaan yang muncul adalah mengapa psikosis ini baru muncul pada masa dewasa. Weinberger (dalam Davison, et al., 1994) mengatakan bahwa luka pada otak saling mempengaruhi dengan proses perkembangan otak yang normal. 

Lobus frontalis merupakan struktur otak yang terlambat matang, khususnya pada usia dewasa. 

Dengan demikian, luka pada daerah tersebut belum berpengaruh pada masa awal sampai lobus frontalis mulai berperan dalam perilaku.