Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PEMBENGKAKAN KELENJAR DAN DEMAM TERKAIT DENGAN INFEKSI HIV/AIDS AKUT PADA BAYI

PEMBENGKAKAN KELENJAR DAN DEMAM TERKAIT DENGAN INFEKSI HIV/AIDS AKUT PADA BAYI


Pembengkakan kelenjar dan pertumbuhan yang kurang baik adalah gejala yang mengarah pada infeksi HIV akut pada bayi. 

Hal ini berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan di Kenya. Sebagai tambahan penelitian ini juga menunjukkan bahwa infeksi HIV akut pada bayi berusia di atas dua bulan dikaitkan dengan pneumonia, demam dan dehidrasi.

Walaupun gejala selama infeksi HIV akut tidak dikaitkan dengan pengembangan penyakit HIV yang lebih cepat, para peneliti mencatat bahwa viral load adalah lebih tinggi dalam jangka panjang pada bayi yang pernah mengalami gejala dibandingkan yang tidak.

Para peneliti berharap bahwa memperhatikan gejala infeksi HIV akut dapat memungkinan mengetahui anak yang terinfeksi HIV secara lebih dini. 

Tetapi mereka juga mencatat bahwa banyak dari gejala dugaan infeksi HIV akut, misalnya demam atau diare, sering muncul pada bayi dan tidak sangat spesifik terhadap HIV.

Banyak Odha yang mengalami apa yang sering disebut penyakit serokonversi selama masa infeksi HIV menetapkan dirinya dan tubuh membuat antibodi terhadap infeksi. 

Gejala serupa flu, sakit tenggorokan, pembengkakan kelenjar, demam dan sakit kepala adalah gejala yang sering menjadi ciri-ciri penyakit serokonversi pada orang dewasa.

Ada beberapa bukti bahwa pasien yang mengalami gejala berat selama infeksi HIV akut mengalami pengembangan penyakit HIV yang lebih cepat dibandingkan pasien yang tidak bergejala.

Tetapi relatif sedikit yang diketahui tentang gejala infeksi HIV akut pada bayi. 

Kebanyakan anak tertular HIV dari ibu selama beberapa bulan pertama hidupnya. 

Penyakit yang menyebabkan demam cukup umum pada bayi, sehingga infeksi HIV akut sulit dikenali.

Walaupun infeksi HIV pada bayi dapat terdeteksi segera setelah kelahiran dengan memakai tes viral load HIV, tes semacam itu belum tersedia secara luas di negara dengan prevalensi HIV tertinggi. 

Oleh karena itu, kesadaran terhadap gejala yang memberi kesan infeksi HIV akut akan membantu petugas kesehatan untuk menentukan bayi yang terinfeksi HIV.

Pada peneliti di Kenya merancang sebuah penelitian yang melibatkan bayi dari ibu yang diketahui HIV-positif. 

Selama dua tahun dilakukan tes viral load HIV secara berkala pada bayi tersebut untuk mendeteksi infeksi HIV. 

Sering kali bayi tersebut juga diperiksa oleh dokter untuk mengamati apakah mereka mengalami gejala terkait dengan infeksi HIV akut. 

Viral load pada bayi yang terinfeksi HIV dipantau selama dua tahun untuk melihat apakah penyakit selama infeksi HIV akut terkait dengan pengembangan penyakit HIV yang lebih cepat.

Dalam penelitian yang berlangsung, tidak ada ibu yang memakai terapi antiretroviral (ART).

Sejumlah 362 bayi dilibatkan dalam analisis dan 92 di antaranya menjadi terinfeksi HIV. Dari bayi yang terinfeksi HIV, 56 dilibatkan dalam analisis. Usia rata-rata saat infeksi HIV akut adalah 2,6 bulan dan 40 bayi didiagnosis di bawah usia dua bulan.

Paling sedikit satu gejala selama infeksi HIV akut yang terjadi pada 47 bayi (84%). Batuk, pilek, ruam, demam atau pembengkakan kelenjar masing-masing dilaporkan pada paling sedikit 30% bayi. Secara keseluruhan, infeksi HIV akut dikaitkan dengan ruam (p = 0,02), tidak bertumbuh (p = 0,04), pembengkakan kelenjar (p = 0,004), dan dirawat inap (p = 0,04).

Gejala yang paling terkait dengan infeksi HIV akut selama dua bulan pertama kehidupan adalah pembengkakan kelenjar (p = 0,01). Gejala yang secara bermakna dikaitkan dengan infeksi HIV akut setelah berusia dua bulan adalah batuk (p = 0,01), demam (p = 0,002), tidak bertumbuh (p = 0,01), kesulitan makan (p = 0,001), diare (p = 0,005), pneumonia (p = 0,006) dan dehidrasi (p = 0,02).

Tidak ada hubungan antara viral load ibu dengan muncul atau tidaknya gejala terkait dengan infeksi HIV akut. Mortalitas sangat tinggi pada kohort yaitu 40% pada bulan ke-24. Tetapi selama periode ini, mortalitas tidak berbeda pada bayi yang mengalami penyakit infeksi HIV akut dan yang tidak.

Tetapi, bayi yang bergejala mempunyai viral load HIV yang lebih tinggi pada masa infeksi yang lebih lanjut dibandingkan yang tidak (p = 0,02). 

Hal ini tetap terjadi walaupun para peneliti membatasi analisis pada bayi dengan masa tindak lanjut paling sedikit 12 bulan (p = 0,05). 

Walaupun setelah beberapa waktu viral load pada bayi yang tidak mengalami gejala dugaan infeksi HIV akut mengalami penurunan (p = 0,002), penurunan ini tidak tampak pada bayi yang bergejala.

Dalam penelitian ini, kami mengamati tanda dan gejala yang secara bermakna lebih prevalen saat kunjungan yang terjadi selama infeksi HIV primer akut, dibandingkan dengan kunjungan tanpa infeksi pada kohort yang sama.

Tetapi, tidak ada tanda atau gejala yang merupakan prediktor yang sangat sensitif terhadap infeksi akut. 

Para peneliti berkomentar, “ruam tercatat pada 26,4% kunjungan infeksi akut, tetapi juga tercatat pada 17,8% kunjungan tanpa infeksi.”

Para peneliti menyimpulkan, “dengan perluasan akses ART, kesadaran terhadap gejala infeksi HIV akut pada bayi dapat memfasilitasi diagnosis infeksi HIV pada bayi secara cepat dan rujukan pengobatan dapat diberikan lebih dini.”