Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KISAH DONGENG RAJA BUMI LANGIT BULAN

KISAH DONGENG RAJA BUMI LANGIT BULAN


Kisah ini mengajarkan dua hal: Pertama, bahwa setiap peperangan yang dikobarkan oleh rasa iri dan benci hanya akan menghancurkan semua yang ada. Kedua, peperangan hanya akan meninggalkan rasa sedih yang mendalam, terutama mereka yang ditinggal sanak keluarga  akibat perang  yang jahat itu. Yang tersisa dari permusuhan hanyalah senandung sedih dan penyesalan.

Dahulu kala ada dua kerajaan yang bermusuhan. Kerajaan Bumi dan Kerajaan Langit namanya. Kerajaan Langit adalah sebuah kerajaan yang makmur. Masyarakatnya hidup dengan aman dan damai tanpa ada kekurangan. Hal inilah yang menerbitkan kecemburuan bagi raja Kerajaan Bumi.

Raja dari Kerajaan Langit punya tiga orang putra laki-laki. Ia ingin sekali mendapatkan   seorang  anak   perempuan.   Kerajaan   Bumi   pun   menunggu kelahiran itu, karena menurut ramalan, Kerajaan Langit bisa ditaklukkan apabila dia sudah mempunyai seorang anak perempuan.

Maharaja  Langit betul-betul  menginginkan  seorang  putri.  Suatu ketika dikumpulkan semua alim ulama, menteri-menteri, penasehat dan hulubalangnya serta seluruh pembesar istana. Baginda meminta pendapat mereka tentang keinginan yang sudah lama terpendam itu.

Seorang cerdik pandai yang bijaksana berjalan menghadap raja. Ia bersujud dan memberi  hormat  dan  berkata.  “Ampunkan  hamba  Tuanku,  atas  keberanian hamba meramalkan sesuatu tentang Tuanku dan kerajaan ini.” Ia  meminta  Raja  mengulurkan  tangannya  untuk  dibaca.  Keningnya  berkerut karena  gundah.  Melihat  itu  Raja  bertanya.  “Ada  apa?  Apakah  kau  melihat sesuatu dari tanganku? Apakah aku akan bisa memiliki seorang putri?”

Cerdik  pandai  itu  kembali  bersujud  dan  memberi  salam.  “Maafkan  hamba Baginda.  Melihat  garis  tangan  Tuanku,  sebentar  lagi  Tuanku  akan  memiliki seorang  anak  perempuan  sebagaimana  yang  sudah  lama  diidam-idamkan. Tuanku akan memiliki seorang putri yang cantik jelita yang tidak bisa ditandingi oleh siapa pun juga.”

Raja sangat senang mendengarnya. “Lanjutkanlah…,” perintah Raja. Si cerdik pandai diam sesaat. Wajahnya terlihat kelam. “Apa lagi yang ingin kau katakan wahai cerdik pandai yang hebat? Katakanlah sekarang juga, di hadapan semua orang agar mereka juga mendengar kebahagiaan apa lagi yang akan aku peroleh. “Ampunkan hamba Baginda. Menurut garis tangan yang hamba baca… Ampun beribu  ampun  Baginda  kalau  hamba  salah.  Kelahiran  Tuan  Putri  ini  akan membuat petaka bagi kerajaan ini.”

Semua orang terkejut mendengarnya. Juga raja dan permaisurinya. “Maafkan kalau hamba salah membaca. Suatu ketika nanti keajaan ini akan diserang oleh Kerajaan Bumi dengan kekuatan yang luar biasa hebat. Mereka berniat mencuri Tuan Putri untuk dinikahi. Dan Kerajaan Langit, kerajaan yang kita cintai sepenuh-penuhnya ini akan pula binasa tanpa ampun.”

Raja tercenung mendengarnya. Cerdik pandai tidak bisa meramalkan kapan serangan itu akan terjadi. Raja menjadi bingung. Anak perempuan sudah lama diinginkan dan sebentar lagi akan lahir, tetapi jika ia lahir maka kerajaan ini akan hancur.

Seorang penasehat kemudian memberikan usul. “Kita biarkan Tuan Putri lahir. Kita semua tahu kalau Baginda sudah lama menginginkan seorang anak perempuan. Sambil menunggu kelahiran Tuan Putri kita menyiapkan tempat persembunyian yang paling aman untuknya, sehingga kelak, kalau pun raja dari Kerajaan  Bumi  berniat  menyerang  kerajaan  ini ia tak  bisa menemukan  Tuan Putri.” Raja pun menyetujui usul itu.

Beberapa waktu kemudian permaisuri pun hamil. Putri cantik jelita itu kemudian lahir ke dunia dengan selamat. Seluruh keluarga istana dan seluruh warga menyambutnya sukacita. Orang-orang merayakan kelahiran itu dengan rasa syukur. Di mana-mana diadakan keramaian. Ada pertandingan dan permainan-permainan, kesenian rakyat  pun  digelar.  Mereka  sungguh-sungguh  gembira  menyambut  kelahiran Tuan Putri yang cantik jelita itu.

Raja  kemudian  menyerahkan  sang  putri  kepada  seorang  inang  terbaik  di kerajaan. Setiap waktu luang Baginda akan memanggil inang pengasuh untuk membawa sang putri untuk ditimang-timang. Raja betul-betul memperhatikan perkembangan bayinya itu. Ia amat mencintai putrinya yang tumbuh sehat dan tanpa cacat itu.

Waktu pun berlalu, berangsur-angsur sang putri mulai dewasa. Ketika itulah Baginda  Raja  teringat  akan  ramalan  cerdik  pandainya  dulu,  bahwa  sewaktu- waktu kerajaannya akan diserang oleh Kerajaan Bumi. Ia pun menyampaikan kegelisahannya kepada permaisuri. Tak ada pilihan, Tuan Putri harus diselamatkan.  Ia harus disembunyikan  di sebuah  tempat  yang tidak diketahui siapa pun juga. Tempat yang paling aman untuk itu hanyalah Bulan. Tuan Putri akan diungsikan ke Bulan sampai keadaan kembali aman. 

Baginda membuatkan  sebuah istana yang indah di Bulan untuk  didiami sang putri. Pada hari yang ditentukan berangkatlah Tuan Putri menuju Bulan bersama inang pengasuhnya. Keberangkatan itu diiringi tangis sedih penghuni kerajaan. “Kembalilah ketika keadaan sudah aman anakku...,” bisik permaisuri sambil memeluk putrinya.

Tuan Putri memeluk ayah dan ibunya bergantian. Hatinya sedih sekali berpisah dengan mereka. Tapi bagaimana pun ia harus berangkat. Ia tak ingin keberadaannya akan membuat istana dan seluruh kerajaan celaka. Mengingat itu bertambah-tambahlah kesedihannya.

Sejak saat itu Tuan Putri tinggal di istana kecilnya yang berada di Bulan. Sementara itu Kerajaan  Bumi sedang mempersiapkan  sebuah pasukan besar untuk menggempur Kerajaan Langit. Kerajaan Bumi begitu menginginkan Putri Kerajaan Langit dijadikan istri. Ia tidak tahu kalau saat ini Putri Jelita itu berada di tempat persembunyian, yaitu di Istana Bulan yang indah.

Mereka mengadakan olah kanuragan setiap hari. Seluruh perlengkapan perperangan   disiapkan.   Mereka   ingin  menghabisi   Kerajaan   Langit  sampai tandas. Mereka sadar Raja Langit tidak akan begitu saja mau menyerahkan putrinya kepada Raja Bumi. Untuk inilah pasukan disiapkan agar tidak ada yang bisa meghalangi keinginan mereka.

Dengan semangat yang menyala-nyala pasukan Kerajaan Bumi mulai mengerahkan seluruh kekuatan yang telah disiapkan dengan matang. Pasukan itu dipimpin langsung Maharaja Kerajaan Bumi. Semula serangan-serangan itu dapat ditahan oleh tentara Kerajaan Langit. Karena pasukan Kerajaan Bumi yang banyak  dan  peralatan  perang  yang  lengkap,  tentara-tentara  Kerajaan  Langit dapat ditaklukan. Mereka menyerbu masuk ke istana. Begitu mengetahui Tuan Putri sudah tak ada, marahlah Raja Bumi. Istana dihancurkan. Semua keluarga dihabisi. Begitu juga dengan Maharaja Langit dan Permaisuri.

Kekejaman pasukan Kerajaan Bumi tak sampai di situ saja. Bangunan yang ada dihancurkan. Tidak satu pun yang bersisa. Tak seorang pun yang bisa selamat dari serbuan mereka. Kerajan Langit hancur lebur tanpa sisa.

Tuan putri yang mendengar kerajaannya hancur menangis sedih, apalagi ketika dia tahu ayah, ibu, dan seluruh penduduknya dibunuh. Kesedihannya sungguh luar biasa. Ingin rasanya ia membalaskan dendam atas kematian ayahandanya tercinta,  tapi  apa  daya  dia  hanyalah  seorang  perempuan  dan  tidak  punya kekuatan apa-apa.

Sejak itu Tuan Putri berubah menjadi pemurung. Setiap hari ia hanya melamun dan mengurung diri di kamarnya sambil membuka pintu jendela. Ia sedih melihat kehancuran kerajaannya. Setiap hari ia termenung sambil melihat Bumi dari kejauhan.  Inang  pengasuh  mencoba  menghibur  Tuan  Putri  dengan  berbagai cara. Tapi sia-sia belaka. Tuan Putri selalu terkenang akan keluarganya. Ia ingin pulang ke Langit sekadar melepaskan kerinduan pada keluarga dan kerajaannya yang telah musnah. Penghiburannya sekarang hanyalah menatap Kerajaan Bumi yang telah menghancurkan istana ayahandanya.

Suatu kali ia melihat ada sekuntum bunga yang mekar di kejauhan sana. Bunga itu terlihat sangat indah, berkilau-kulauan diterpa cahaya. Tuan Putri ingin sekali memiliki bunga yang berada di Bumi itu, tapi ia takut kalau-kalau Maharaja Kerajaan Bumi mengetahui keberadaannya dan bersegera menculiknya. Keinginannya makin menjadi-jadi untuk memiliki kembang itu. Suatu kali ia meminta izin kepada inang pengasuh untuk turun ke Bumi dan mengambil bunga itu lalu bersegera kembali ke Bulan. “Jangan  turun  ke Bumi,  Tuan  Putri.  Apa  jadinya  nanti  jika  raja  yang  jahat  itu mengetahui  keberadaan  Putri?  Mereka  tidak  akan  membiarkan  Tuan  Putri kembali lagi ke sini,” kata inang pengasuh menasehati. “Tapi aku menginginkan bunga itu, Bi.“Bibi  tahu  keinginan  Tuan  Putri.  Tetapi  alangkah  baiknya  kalau  bunga  itu dibiarkan saja tumbuh di sana dan kita bisa melihatnya setiap hari dari sini. Apa yang tampak indah itu tak melulu sama ketika kita menyentuhnya.”Tuan Putri diam saja. Hatinya ragu dan menimbang-nimbang. “Bagaimana kalau misalnya itu hanya tipuan dari Maharaja Kerajaan Bumi saja untuk mengundang  Tuan Putri keluar dari persembunyian?  Satu hal lagi, kita tidak akan bisa kembali lagi ke Bulan ini kalau sudah menjejaki kaki di Bumi, tempat di mana banyak banyak  darah ditumpahkan  itu. Ingat  itu, Tuan Putri. Kamu tidak akan bisa lagi ke sini.”

Tapi  Tuan  Putri  tampaknya  bersikukuh  dengan  pendiriannya  dan  tak  peduli dengan  nasihat  inang  pengasuh.  Keinginannya  untuk  memetik  bunga  yang terlihat  indah  itu makin  menjadi-jadi.  Suatu  hari,  tanpa  sepengetahuan  inang pengasuh, Tuan Putri turun ke Bumi untuk mengambil bunga itu. Tapi  alangkah  terkejutnya  dia  begitu  mengetahui  tak  ada  bunga  di  sana. Kelopak-kelopak  indah dan mekar yang terlihat dari jauh itu hanyalah  ampas tebu yang berserakan. Tiba-tiba sang putri merasa telah masuk ke dalam perangkap Maharaja Bumi. Ia takut sekali dan ingin segera kembali pulang ke istananya di Bulan.

Berkali-kali  ia mencoba  untuk terbang. Tetapi tubuhnya  tak kunjung  naik-naik juga.  Ia sama  sekali  tak  bisa  mengawang.  Ia  ingat  nasehat  inang  pengasuh bahwa dia tidak akan bisa lagi naik ke Bulan jika sudah menjejakkan kaki di Bumi. 

Tuan Putri sedih sekali. Menangislah dia keras-keras. Dia merasa sangat takut, sebab sewaktu-waktu  orang-orang akan melihatnya dan menyerahkan kepada Maharaja Kerajaan Bumi. Tuan Putri kemudian memanjat sebatang pohon, dia berharap dari sana dia akan bisa  terbang  kembali  ke  Bulan.  Tapi  sayang,  usahanya  tak  pernah  berhasil. Setiap kali ia mencoba, setiap kali itu pula ia terjatuh. Dengan kesedihan yang bertambah-tambah dan ketakutan yang maha hebat ia terus mencoba dan selalu gagal.

Karena larut dengan kesedihan dan penyesalan  yang luar biasa, makin lama tubuhnya  semakin kecil.   Ia tidak menyadari  kalau  tubuhnya  mulai  ditumbuhi sayap. Lama-lama sempurnalah ia menjadi seekor burung. Maka setiap bulan purnama tiba ia akan selalu berbunyi sambil mencoba terbang dari satu dahan ke dahan lainya. Ia selalu teringat akan istana cantiknya di Bulan sana. Demikian juga dengan inang pengasuh, ia selalu duduk di bawah pohon beringin raksasa sambil menunggu kedatangan Tuan Putri. Setiap purnama tiba akan terlihat bayangannya dari Bumi.